Rwa Bhineda dalam Kitab Ramayana: Makna Suka dan Duka
Dalam perenungan mendalam mengenai kehidupan, kitab Ramayana menawarkan konsep yang kaya akan makna, salah satunya adalah "Rwa Bhineda." Terjemahan harfiahnya adalah dua hal yang berbeda atau berlawanan. Konsep ini menyoroti dualitas yang ada dalam kehidupan manusia, menggambarkan pasang surutnya perasaan dan pikiran. Dalam tulisan ini, kita akan menjelajahi makna Rwa Bhineda sebagaimana disampaikan dalam kitab Ramayana, yang menggambarkan perbedaan antara gelap dan terang, suka dan duka.
Rwa Bhineda dalam Kitab Ramayana
Kitab Ramayana membuka jendela ke dalam pemahaman Rwa Bhineda dengan menyebutkan, "Pasang putih tulya mala mangeliput. Luput sareng sadu." Pasangan atau lawan dari putih adalah hitam, yang diibaratkan sebagai kegelapan yang meliputi diri manusia. Namun, orang bijaksana dapat bebas atau "luput" dari kegelapan itu.
Rwa Bhineda juga mencerminkan dualitas dalam keadaan batin manusia, yakni gelap pikiran dan gelap hati. Gelap pikiran mengacu pada kebingungan dan ketidaktenangan berpikir, sementara gelap hati mencerminkan perasaan gelisah. Orang yang berada dalam kegelapan diibaratkan sebagai orang yang sedang dalam keadaan duka.
Dalam konsep Rwa Bhineda, terang menjadi lawan dari kegelapan. Terang pikiran mencerminkan ketenangan berpikir, sedangkan terang hati menunjukkan perasaan senang atau sukacita. Rwa Bhineda dalam konteks agama Hindu khususnya merujuk pada dualitas suka dan duka, yang menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan.
Asal-usul Dualitas
Suka dan duka, dua kenyataan hidup yang tak terpisahkan, menjadi misteri yang diungkap oleh Bapak Drs. Ketut Wiana dalam penjelasannya pada harian Bali Post. Menurutnya, keduanya berasal dari pengaruh tri guna: sattwam, rajas, dan tamas.
1. Sattwam dan Rajas
Guna sattwam, jika bertemu dengan guna rajas, membawa kebaikan dan kesukaan. Orang yang berbuat baik akan menikmati kegembiraan, bahkan rohnya dapat mencapai surga.
2. Tamas dan Rajas
Sebaliknya, pertemuan guna tamas dengan guna rajas membawa kepada perbuatan buruk dan kedukaan. Atmanya dapat terjerumus ke dalam neraka.
3. Sattwam, Rajas, dan Tamas
Ketika sattwam berjumpa dengan rajas dan tamas, manusia akan merasakan suka dan duka. Suka dan duka menjadi seiring dalam perjalanan hidup, dan setiap individu yang menjelma ke dunia akan mengalami pergantian keduanya.
Mengatasi Kebingungan Melalui Pemahaman yang Lebih Dalam
Bagaimana kita dapat mengatasi kebingungan yang disebut sebagai duka? Menurut kitab Arjuna Wiwaha, berdoa saja tidak cukup jika pikiran masih diselimuti oleh sifat rajas dan tamas.
Makanan Sattwik
Bagawan Satya Narayana memberikan petunjuk melalui pemilihan makanan. Makanan sattwik, seperti sayur-sayuran dan daging itik, dianggap dapat membersihkan pikiran, sementara makanan rajas (daging ayam) dan tamas (daging babi) dapat memunculkan nafsu besar dan membuat pikiran menjadi kacau.
Pergaulan dengan Orang Suci
Pilihan pergaulan juga memiliki peran penting dalam membersihkan pikiran. Seperti besi yang berkarat ketika bergaul dengan tanah, manusia perlu bergaul dengan orang suci untuk menjaga kesucian pikiran.
Filosofi Samkya
Agama Hindu, khususnya yang berfilsafat samkya, mengakui bahwa selama ada pengaruh tri guna, manusia tak bisa lepas dari suka dan duka.
Menghilangkan Duka
Doa "Tamaco maa jyotirgamaya" menjadi kunci untuk mencapai moksa, tujuan agama Hindu yang berarti menghilangkan kebingungan (duka). Filsafat samkya mengajarkan untuk "bergembira dalam kesedihan."
Ungkapan Suka Duka Lara Pati
Pada akhirnya, rwa bhineda, yang menggambarkan suka dan duka, berubah menjadi ungkapan yang lebih dalam: SUKA DUKA LARA PATI. Lara, yang berarti menderita, menambahkan dimensi baru pada pemahaman hidup sebagai perjalanan sengsara.
Hidup sebagai Samsara
Dunia dianggap sebagai penjara atau hukuman, di mana berbuat baik dapat mengurangi masa hukuman seperti di penjara. Namun, hidup di dunia ini, disebut jagat atau mercapada, adalah alur lahir-mati yang tak terhindarkan.
Kesimpulan
Dalam rangkaian kehidupan, rwa bhineda, yang awalnya mencakup suka dan duka, berkembang menjadi ungkapan kompleks: SUKA DUKA LARA PATI. Melalui pengertian mendalam terhadap sattwam, rajas, dan tamas, serta upaya untuk menghilangkan kebingungan, manusia dapat merangkul dualitas hidup dengan bijaksana. Hidup bukan hanya sebagai samsara, tetapi sebagai perjalanan menuju pemahaman sejati tentang suka dan duka.