Tradisi Mebuug-Buugan di Kedonganan Bali yang Unik dan Patut Diketahui
Ketika Anda berkunjung ke Bali, ada tradisi unik yang diadakan masyarakat sekitar, yang dinamakan Tradisi Mebuug-Buugan di Kedonganan. Menariknya, tradisi ini berbentuk permainan tradisonal rakyat yang menggunakan lumpur.
Anda penasaran? Maka dari itu, simaklah ulasan mengenai Mebuug-Buugan ini.
Mengenal Tradisi Meebug-Buugan di Kedonganan
Tradisi Mebuug-Buugan di Kedonganan merupakan permainan rakyat setempat yang dalam perosesnya menggunakan media lumpur. Namun, itu bukan sekadar permainan. Mebuug-Buugan memiliki makna filosofis yang berkaitan dengan Hari Raya Nyepi.
Perayaan tradisi ini punya tujuan sebagai upaya memohon anugerah ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa, atau dalam Bahasa Bali Ida Sanghyang Widhi Wasa. Permohonan dalam Mebuug-Buugan itu mereka lakukan agar umat manusia mendapat kesejahteraan dan keselamatan lahir dan batin.
Sesuai dengan namanya, Buug dalam Bahasa Bali berarti lumpur atau kotor yang terdapat pada kawasan atau area tertentu. Dengan imbuhan me- dan akhiran –an, maka Anda dapat memahami bahwa tradisi ini merupakan aktivitas, yang kira-kira artina berlumpur-lumpuran.
Maka dari itu, Tradisi Mebuug-Buugan di Kedonganan merupakan aktivitas atau kegiatan sekelompok orang, komunitas, masyarakat yang berkaitan dengan lumpur. Namun, meski bermain dengan lumpur, ini lebih dari sekadar permainan.
Mebuug-buugan sejatinya merupakan tradisi sakral yang berlangsung pada hari Umanis Nyepi oleh masyarakat Desa Adat Kedonganan, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, Bali. Lalu, bagaimana sejarah tradisi ini?
Sejarah Tradisi Mebuug-Buugan
Konon, Mebuug-Buugan di Kedongonan sebenarnya sudah ada sejak lama. Menurut masyarakat setempat, tradisi masyarakat adat lokal ini sudah ada sejak sebelum penjajah Belanda masuk ke Indonesia.
Namun, tradisi ini sempat terhenti pada tahun 1960-an di Kedongonan. Terhentinya tradisi ini bermula pada 1963, ketika Gunung Agung Meletus. Kemudian, pada era pemberontakan G30S PKI tahun 1965 juga membuat tradisini belum berlanjut. Tradisi Mebuug-Buugan di Kedonganan baru dilanjutkan setelah kondisi kondusif.
Konon, mendiang I Wayan Glibeg merupakan penetus tradisi ini. Awalnya, Mebuug-Buugan bertepatan dengan Hari Raya Nyepi. Saat itu, segala aktivitas diperbolehkan, selain membawa atau memikul sesuatu karena akan membuat Belanda curiga. Karena itulah, muncul ide agar tradisi ini tidak mengganggu Hari Raya Nyepi dan tidak pula membuat Belanda curiga.
Alhasil, Tradisi Mebuug-Buugan di Kedonganan berlangsung pada Umanis Nyepi dengan sarana lumpur sebagai medianya. Secara social, masyarakat Kedongonan saat tu ingin menunjukkan kebersamaan setelah melakukan Catur Bratha Penyepian selama satu hari penuh. Maka dari itu, keesokan harinya mereka melanjutkan dengan permainan Tradisi Mebuug-Buugan ini secara gembira ria.
Meski Mebuug-Buugan berlangsung secara riang, namun tetap mengacu pada Hari Raya Nyepi sebagai rangkaian ritual yang tidak dapat terpisahkan. Hal itu mengingat nilai-nilai filosofi yang melekat dalam kegiatan ini merupakan tuntunan adi luhung bagi masyarakat setempat. Filosofi itu terwujud dalam sebuah permainan dengan bentuk Tradisi Mebuug-buugan.
Daya Tarik Wisatawan
Segala aktivitas budaya lokal Bali selalu memberi daya tarik dari bagi para wisatawan yang melancong ke sana. Tak terkecuali Tradisi Mebuug-Buugan di Kedonganan, wisatawan yang berkunjung ke sana selalu tergelitik untuk melihat keseruan masyarakat tersebut.
Sebenarnya, banyak kontroversi yang muncul dari Tradisi Mebuug-Buugan ini. Kenapa demikian? Sebagian masyarakat awam akan berpikir bahwa warga lokal yang mengikuti tradisi ini sengaja mengotori diri mereka dengan lumpur. Apa lagi, lumpur identik dengan hal kotor dan tidak baik bagi kesehatan, terutama kulit.
Padahal, sebenarnya, tradisi ini memiliki makna simbolik sebagai bentik penyucian diri dari pengaruh negatif. Badan yang penuh lumpur tidak mereka biarkan lama, karena mereka akan membersihkan diri di pantai sekitar.
Makna Tradisi Mebuug-Buugan
Ada banyak versi yang menafsirkan makna dari Tradisi Mebuug-Buugan di Kedonganan ini. Tapi versi yang paling kuat mengatakan bahwa Mebuug-Buugan ini erat kaitannya dengan Hari Raya Nyepi.
Perayaan Nyepi sejatinya merupakan bentuk dari dua penyucian: Bhuana Agung (alam sekitar) dan Bhuana Alit (diri sendiri). Setelah melakukan penyucian alam sekitar pada Hari Raya Nyepi, masyarakat juga melakukan penyucian diri sendiri.
Ketika melangsungkan Hari Raya Nyepi masyarakat melakukan pembersihan, dan puncaknya adalah melakukan Catur Brata Penyepian. Dalam hal ini meliputi: tidak bekerja, tidak menyalakan api, tidak bepergian, serta tidak bersenang-senang.
Setelahnya, masyarakat akan melakukan Bhuana Alit, di mana mereka akan memulai dengan matur piuning atau meminta izin. Biasanya, matur piuning mereka lakkan di Pura Bale Agung, Pura Dalem, Catus Pata, dan Pura Segara.
Masyarakat Kedonganan akan berkumpul di balai desa. Lalu, mereka menuju hutan mangrove untuk melumuri tubuh mereka dengan lumpur yang merupakan simbol bhuta kala. Ketika bhuta kala memasuki tubuh, maka mereka harus membersihkannya dengan mandi atau melukat ke pantai sebagai simbolnya.
Semua kalangan bisa memeriahkan Tradisi Mebuug-Buugan di Kedonganan ini. Jika Anda tertarik, biasanya tradisi ini akan berlangsung sekali setahun, sekitar bulan Maret pada kalender Masehi.