Banten Pejati Alit
Di Bali hampir semua masyarakatnya menganut agama Hindu. Jadi masyarakat Bali sangat erat dengan yang namanya adat, ajaran agama dan budaya. Sehingga di Bali ini bisa dikatakan kalau agama, adat dan budaya sudah menjadi satu kesatuan. Khususnya di Bali ini dikenal dengan nama Banten.
Banten merupakan sebuah sarana dan persembahan untuk umat agama Hindu demi mendekatkan diri kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Banten sendiri dapat dikatakan sebagai wujud rasa terima kasih, bakti dan rasa cinta kepada Tuhan karena sudah melimpahkan wara nugrahaNya. Banten sendiri dapat dikatakan bahasa agama Hindu.
Pengertian Banten Pejati alit
Kata Pejati sendiri berasal dari bahasa Bali. Awalnya dari kata Jati yang memiliki arti sungguh-sungguh atau benar. sehingga penambahan kata pa ini akan menegaskan bahwa sebuah makna pekerjaan yang sungguh-sungguh.
Banten pejati ini merupakan sekelompok yang dipakai untuk menytakan rasa kesungguhan kepada Tuhan atau Hyang Widhi. Untuk itu akan dilakasanakan sebuah upacara dan mohon dipersaksikan. Hal ini bertujuan demi mendapatkan keselamatan. Banten pejati alit ini merupakan banten pokok yang digunakan untuk Panca Yadnya.
Terdapat empat unsur utama yang ada pada pejati dengan sebutan Catur Loka Phala. Unsur tersebut mulai dari Daksina, Penyeneng, Banten Peras, Kelanan. Di dalam pejati juga terdapat Pasucian, Soda, dan Segehan dan berbagai perlengkapan lainnya. Setiap unsure di dalam banten pejati memiliki makna masing-masing sebagai berikut :
1. Daksina
Daksina ini digunakan untuk persembahan dan tanda terima kasih. Biasanya akan disertai dengan banten yang besar sebagai perwujudan dan pertapaan. Daksina ini juga melambangkan sebagai Hyang Guru atau Dewa Siwa.
2. Banten Peras
Banten peras ini merupakan sebuah sesajen yang ditujukan untuk mengesahkan anak atau cucu. Apabila dalam sebuah sesajen tidak dilengkapi dengan peras maka upacara tersebut tidak sah. Sehingga banten peras ini pasti selalu ada pada sesajen-sesajen yang memiliki tujuan tertentu. Jadi pada intinya banten peras ini memiliki fungsi sebagai permohonan agar berbagai kegiatan itu bisa sukses.
Banten peras ini tidak digunakan untuk sesuatu yang tersendiri. Jadi banten peras ini akan menyertai banten lainnya seperti tulang, sesayut, daksina dan lainnya. Sehingga pada alas akan dilengkapi dengan benang putih dan sedikit beras. Sebagai pertanda upacara selesai biasanya seseorang akan menarik lekukan pada kulit peras. Kemudian menaburkan beras tersebut di bawahnya.
3. Tehenan/Penyeneng
Jenis jejaitan ini memiliki beruang tiga yang berisi benang, uang, beras, nasi aon dan porosan. Jejahitan ini memiliki fungsi sebagai alat untuk menurunkan Prabhawa Hyang Widhi. Hal ini bertujuan agar beliau mau berkenan hadir di upacara tersebut. Tehenan atau penyeneng in dibuat dengan tujuan membangun hidup yang lebih seimbang sejak lahir sampai seseorang itu meninggal.
4. Ketupan Kelanan /Tipat
Tiap ini merupakan lambang dari Sad Ripu dan sudah dikendalikan oleh rohani. Jadi kebijakan akan selalu meliputi kehidupan umat manusia. Hal ini akan timbul keseimbangan hidup yang menyelimuti manusia.
5. Pasucian
Pasucian ini merupakan sebuah alat yang dipakai untuk menyucikan Ida Bhatara pada upacara keagamaan. Semua ini mengandung makna kalau manusia ini seharusnya senantiasa untuk menjaga kebersihan dan kesucian rohani.
6. Segehan
Segehan ini memiliki arti menyuguhkan. Ini semua disuguhkan kepada Bhuta Kala. Di dalam segehan ini diharapkan mampu menetralisir serta menghilangkan pengaruh negative dari kotoran pikiran. Segehan ini dapat disimbolkan sebagai keraharmonisan antara hubungan manusia dengan Tuhan.